“Berarti ini seperti apa yang dibilang Seno Gumira Ajidarma, ‘ketika jurnalisme dibungkam sastra harus bicara’?” tanya saya. “Ya, tapi kalau dibilang seperti Seno itu berbeda karena dia hidup di zaman represif. Sekarang jurnalisme sudah sangat terbuka, apa saja bisa kita tulis. Ketika Jurnalisme Dibungkam: Sastra Harus Bicara. Bentang, 2005. ‘Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara.’” Kompasiana, 17 May 2020, Bahwa buku sastra bisa dibreidel, tetapi kebenaran dan kesusastraan menyatu bersama udara, tak tergugat dan tak tertahankan. Terima kasih atas kejernihan SGA. Saya kutip apa adanya SGA bahwa ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Karena bila jurnalisme bicara dengan fakta, sastra bicara dengan kebenaran. Fakta-fakta bisa diembargo Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Ketika sistem politik yang represif ingin menghilangkan isu petrus dari wacana publik, cerpen-cerpen Seno ini punya daya gugat yang kuat untuk mengkritisi militerisme Orba. Merinding bacanya. Aku seakan bisa merasakan kengerian petrus lewat mayat-mayat yang dilihat Sawitri ketika hujan turun Hari ini, kita telah melihat bagaimana jurnalisme telah kehilangan taji-nya. Bungkam pada titik tertentu, namun lantang bersuara pada titik lainnya. Pandai bermain petak-umpat. Seno Gumira Ajidarma pernah berujar, “Jika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara.”. Ya, itulah fungsi sastra! Namun, apa yang kita bayangkan ketika mendengar tentang sastra? Bagaimana ketika sastra hanya Meski tidak ditulis pada era Orde Baru, cerpen-cerpen Puthut menjadi ejawantah dari adagium Seno Gumira Ajidarma, ketika jurnalisme dibungkam, sastra bicara; bagaimana sastra mengungkap dinamika sosial dengan caranya sendiri. Jurnalisme memang telah mendapatkan ruang bebasnya pada 2006-2008 ketika tulisan ini dibuat. .

ketika jurnalisme dibungkam sastra bicara